Selasa, 30 Juli 2013


BUDAYA MAKAN MASYARAKAT BALI

Awal sejarah Bali tidak dapat dilepaskan dari asal-usul dan evolusi masyarakatnya. Orang Bali diduga memiliki darah campuran Mongoloid yang bergerak ke pulau utama menuju kawasan Asia Tenggara, jauh sebelum masa sejarah. Pengaruh asing terbesar bagi orang Bali awalnya dibawa oleh orang-orang India (pedagang dan pelancong) yang membawa serta pengaruh ajaran Hindu. Bali kemudian berbagi sangat banyak dalam gelombang Indianisasi yang menyebar di hampir banyak kawasan Asia Tenggara di paruh akhir milenium pertama.
Hinduisasi di Bali merupakan sebuah proses yang berlangsung berabad-abad. Pengaruh yang paling meresap ternyata bukan dari India saja, namun ternyata lebih dekat ke Jawa, yang sebenarnya lebih dahulu terkena proses Indianisasi dibandingkan Bali.
Lantas, apa hubungan masa Hindu Jawa yang diwakili oleh kekuasaan Majapahit tersebut bagi budaya orang Bali, terutama berkaitan dengan kebiasaan makan mereka yang menjadikan babi sebagai konsumsi daging utama. Di sini saya tidak begitu sepakat dengan daging pilihan (meat of choice), karena saya lebih memandang daging babi lebih dari sekedar pilihan, namun menjadi suatu yang utama di kalangan masyarakat Bali.

A.                  JENIS MAKANAN YANG BIASA DIKONSUMSI

Dalam kitab Nagarakrtagama (1365), babi disinggung sebagai salah satu jenis daging yang dihidangkan di Istana Majapahit, selain daging domba, kerbau, ayam, lebah, ikan, dan bebek. Selain itu, juga ada beberapa jenis daging lagi yang tidak dihidangkan kepada orang yang taat karena pantangan Hindu, meskipun banyak digemari oleh rakyat biasa, seperti kodok, cacing, penyu, tikus, anjing. Banyak sekali pada masa itu orang-orang yang menggemari daging-daging ini. Agama Hindu tampaknya nyaris tidak berperan dalam mengekang sumber-sumber protein.
Lantas, apa yang kemudian menjadikan babi sebagai daging konsumsi utama di kalangan masyarakat Bali? Hal ini tampaknya tidak dapat dilepaskan dari peran orang-orang Hindu Jawa yang bermigrasi ke Bali pasca runtuhnya kekuasaan Majapahit. Pada abad ke-16, ketika masa kekuasaan Raja Batu Renggong, orang-orang Bali mentransformasikan pengaruh-pengaruh Majapahit untuk disesuaikan dengan kebutuhan hidup. Mereka menciptakan apa yang dalam kenyataannya sebagai budaya kontemporer Bali serta memberikan elemen-elemen khusus. Mereka juga membawa dan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan mereka, termasuk didalamnya persoalan kebiasaan makan Di sisi lain, pengaruh agama dapat disimak dari pantangan untuk tidak memakan daging sapi putih sebagai suatu pantangan seperti halnya yang dianut oleh orang-orang Hindu-India. Tentu ini sebuah paradoks dengan orang-orang Islam yang berpantangan untuk tidak mengkonsumsi daging yang haram, babi.
Pada kurun abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Babi adalah hewan ternak –selain lembu— yang menjadi kebutuhan utama rumah tangga keluarga Bali. Hampir setiap kepala keluarga memiliki paling sedikit satu sapi dan beberapa ekor babi yang diperuntukkan untuk kebutuhan pribadi atau nantinya akan dijual ke pasar lokal dan juga ekspor.
Namun, ada hal yang lebih penting dari sekedar hewan komoditas. Di Bali, babi juga adalah hewan yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan ritus. Seperti disinggung oleh ahli sejarah Asia Tenggara, Anthony Reid, umumnya riwayat daging dalam kegiatan ritus di kawasan Asia Tenggara sudah menjadi suatu hal yang penting, sebagaimana orang Bali memandang daging babi dalam kegiatan ritusnya. Dijadikannya babi sebagai kegiatan ritus di Bali.
Bukan hanya dalam kegiatan ritus, babi sudah sejak lama menjadi semacam mitos yang melekat di lingkungan orang Bali.

B.TATA CARA MAKAN
Meskipun kini abad globalisasi, dimana perjamuan telah berimbas pada masyarakat Bali seperti dikenalnya tata cara makan prasmanan (berasal dari frans dinner), namun perjamuan tradisional tetap dilaksanakan pada peristiwa-peristiwa istimewa seperti perkawinan, ngaben, memukur, makarya di pamerajan ataupun pada hari piodalan. Apa saja bentuk dan tata cara hidangan perjamuan dalam masyarakat adat di Bali? Sembari merayakan Hari Galungan dan Kuningan, info berikut pantas dicermati bagi umat Hindu di manapun berada.

HIDANGAN perjamuan pada masyarakat Bali sangat beraneka ragam dari yang sederhana hingga yang dapat dikatakan sangat istimewa. Yang istimewa atau yang utama disebut sebagai resi bojana. Yang lebih sederhana dapat berupa nasi atau rayunan pajegan, megibung ataupun nasi yasa.
1.       Megibung
Megibung adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat atau sebagian orang untuk duduk bersama  saling berbagi satu sama lain, terutama dalam hal makanan. Tidak hanya perut kenyang yang didapat dari kegiatan ini namun sembari makan kita dapat bertukar pikiran bahkan bersendagurau satu sama lain.

Megibung bersasal dari kata dasar gibung yang mendapat awalan me-. Gibung berarti kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang yaitu saling berbagi antara orang yang satu dengan yang lainnya, sedangkan awalan me- berarti melakukan suatu kegiatan.

Tradisi Megibung merupakan kegiatan yang dimiliki oleh masyarakat Karangasem yang daerahnya terletak di ujung timur Pulau Dewata. Tanpa disadari Megibung menjadi suatu maskot atau ciri khas Kabupaten Karangasem yang ibu kotanya Amlapura ini. Tradisi Megibung sudah ada sejak jaman dahulu kala yang keberadaannya hingga saat ini masih kerap kali kita dapat jumpai. Bahkan sudah menjadi sebuah tradisi bagi Masyarakat Karangasem itu sendiri didalam melakukan suatu kegiatan baik dalam upacara Keagamaan, Adat maupun kegiatan sehari-hari masyarakat apabila sedang bercengkrama maupun berkumpul dengan sanak saudara.

Saat ini kegiatan megibung kerap kali dapat dijumpai pada saat prosesi berlangsungnya Upacara Adat dan Keagamaan di suatu tempat di Karangasem. Seperti misalnya dalam Upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya. Pada kegiatan ini biasanya yang punya acara memberikan undangan kepada kerabat serta sanak saudaranya guna menyaksikan prosesi kegiatan upacara keagamaan tersebut. Sehingga prosesi upacara dapat berlangsung seperti yang diharapkan.
Proses penyembelihan babi pun dilakukan sebagai salah satu menu di dalam mempersiapkan hidangan yang disebut Gibungan ini. Daging babi diolah sedemikian rupa dan di kasi bumbu tertentu sehingga daging yang mentah menjadi menu pelengkap yang menggugah selera seperti sate, lawar, soup (komoh), Gegubah/lempyong, pepesan serta yang lainnya. Menu yang dihidangkan dalam Megibung tidaklah harus daging babi, namun dading ayam, kambing serta daging sapipun tidaklah masalah.

Megibung berlangsung apabila tamu undangan sudah lama bersanda gurau dengan kerabat serta sanak saudara serta setelah selesai membantu tugas-tugas yang dapat dilakukan guna kelangsungan acara tersebut, sebelum para undangan pulang terlebih dahulu di ajaklah untuk makan (megibung) sebagai tanda terimakasi atas kedatangan dan bantun dalam acara tersebut. Dalam Megibung biasanya terdiri dari lima hingga tujuh orang, yang dilakukan dengan duduk bersama membentuk lingkaran. Adapun ciri khas dari megibung ini adalah :

a.        Duduk bersila membentuk lingkaran yang terdiri dari 5-7 orang.
b.      Nasi yang disuguhkan ditaruh dalam satu wadah (nare besar).
c.        Lauk atau pelengkap nasi berupa sate, lawar, soup, Gegubah/lempyong, pepesan yang ditempatkan dalam satu wadah (nare kecil).
d.       Kegiatan makan dilakukan secara bersamaan dan makan menggunakan tangan.
e.      Pada saat makan tidak boleh ada yang terjatuh di wadah/tempat nasi namun harus di luar nare tempat nasi tersebut.
    Apabila ada salah seorang peserta megibung ada yang terlebih dahulu kenyang, orang tersebut tidak boleh terlebih dahulu bangun atau meninggalkan tempat megibung namun harus menunggu yang lain supaya selesai makan dan bangun secara bersama-sama.


2.       Resi Bojana
Selain nasi gagibungan, juga dikenal adanya perjamuan dengan resi bojana, yakni perjamuan istimewa (merupakan tingkatan yang utama) pada saat puncak acara yang disiapkan bagi para resi yang muput karya ageng dan raja atau Cokorda pemimpin suatu wilayah. Upacara-upacara tersebut misalnya berupa memukur atau nyekah dan nyusun di pamerajan. Hidangannya disiapkan dengan dulang beralaskan jaro. Tiap orang disiapkan tujuh buah dulang yang terdiri dari nasi tebog, nasi maklopok, ebat-ebatan, gegerabadan, saserodan/ cacacalan, kue basah, sampai buah-buahan. Dalam menghidangkan resi bojana, didahului dengan canang, tirta, dupa, base makojong magonjer, perangkat makan ( piring, sendok, garpu, serbet, gelas dan air minum ,dan paso atau mangkuk untuk cuci tangan). Hal ini dimaknakan bahwa sebelum makan beliau berdoa terlebih dahulu.

Hidangan dalam bentuk resi bojana juga dihaturkan ke hadapan Tuhan Yang Maha esa dalam manivestasi sebagai Bhatara Surya, Bathari Saraswati, dan juga kepada para leluhur. Pada dulang ebat-ebatan dihidangkan lawar, beberapa jenis sate dan lauk pauk, pada dulang gegerabadan dihidangkan jukut meurapan, kacang warna lima (kapri, botor, mentik, komak, buncis), saur, sudang, udang, gurita, lindung, telor rebus, telor dadar, satu ekor betutu bebek dan sambal emba serta garam. Pada dulang kue basah disiapkan lima macam kue basah yang masing-masing berisi lima potong kue.

3.       Pajegan dan Yasa
Selain perjamuan tersebut juga dikenal perjamuan dengan hidangan nasi pajegan. Pada perjamuan ini minimal disiapkan empat dulang dialasi jaro. Pada dulang pertama disiapkan nasi putih yang di-klopok, pada dulang kedua disiapkan ebat-ebatan, pada dulang ketiga disiapkan gegerabadan dan dulang terakhir disiapkan buah-buahan. Sedangkan peralatan makan dan air minum disiapkan tersendiri. Selain itu, juga disiapkan air untuk cuci tangan yang ditempatkan pada satu paso atau mangkuk.

Pada nasi pajegan ageng disiapkan sebuah dulang lagi untuk kue-kue basah. Jadi keseluruhannya berjumlah lima dulang. Jumlah sate lilit yang disiapkan bervariasi tergantung dari keutamaan beliau yang dihaturkan nasi pajegan ini. Biasanya berkisar 16 katik atau batang, 20 katik, dan 30 katik. Perjamuan nasi pajegan biasanya disiapkan bagi para resi yang muput karya ageng dan raja atau Cokorda pemimpin suatu wilayah pada suatu upacara yang tidak sebesar mamukur misalnya upacara perkawinan, piodalan dan ngaben.

Selain perjamuan tersebut juga terdapat perjamuan dengan hidangan nasi yasa. Nasi yasa mempunyai kekhususan yaitu nasinya terbuat dari nasi kuning. Nasi yasa juga dibedakan atas nasi yasa yang ageng dan yang biasa. Pada nasi yasa ageng, nasi kuning yang di-klopok dicetak dikelilingi lauk-pauk dan sayur-mayur seperti betutu, udang, sudang, gurita, lindung, telor dadar, telor rebus ataupun telor asin serta sayur urab, utik-utik atau kecambah, kacang panjang, daun kecarum, kacang kapri, kacang botor, kacang mentik dan saur serta sambal emba beserta garam yang masing-masing dialasi dengan takir. Sedangkan nasi yasa biasa dengan ukuran yang lebih kecil, dialasi dengan tamas dan lauk pauk, sayur-mayur diletakkan langsung di atas nasi kuning yang dicetak dengan diameter lebih kurang 10 cm. Nasi yasa biasanya dihidangkan dalam rangkaian acara dalam upacara di pemerajan ataupun upacara memukur.

4.       Ngejot
Sebagai bingkisan nasi atau rayunan yang dikirimkan ke rumah-rumah yang sering disebut dengan ngejot, biasanya jumlah satenya ditentukan dari kedudukan, kedekatan dan kekerabatannya. Nasi jotan tersebut dibedakan atas nasi pamijian dan nasi pajegan. Nasi pamijian terdiri atas pamijian ageng, pamijian biasa dan pamijian alit. Pamijian ageng berisi nasi klopokan dan gegerabadan yang mengelilingi nasi di atas taledan yang tidak di-sibeh, kemudian dilengkapi dengan ebat-ebatan pada taledan lain yang di-sibeh serta sate sejumlah 8 atau 12 katik. Pada pamijian biasa jumlah satenya 5 atau 6 katik. Pada pamijian alit, nasi klopokan tersebut dilengkapi ebat-ebatan dengan sate sejumlah 3 katik. Ebat-ebatan serta sate tersebut dialasi tapan dari daun pisang.

Jotan nasi pajegan terdiri dari nasi klopokan yang dialasi tamas dan taledan (tidak mesibeh), serta pada taledan (tidak mesibeh) yang lain disiapkan gegerabadan, serta pada taledan (tidak mesibeh) yang satunya lagi disiapkan ebat-ebatan. Masing-masing ditempatkan pada satu keben. Jadi tiap set memerlukan tiga keben. Untuk pajegan ageng dibutuhkan satu keben lagi untuk tempat kue-kue basah yang dialasi dengan taledan yang mesibeh.

Selain itu dikenal juga adanya nasi pamirakan untuk membalas pamirakan yang diberikan oleh keluarga dekat kepada yang mempunyai hajat atau karya. Nasi pamirakan ini berupa nasi klopokan yang dilengkapi dengan 3 katik sate lilit. Dalam rangkaian upacara perkawinan, sering disebutkan adanya nasi pameeg. Nasi pameeg ini berupa nasi punjungan yang dialasi tamas dan dilengkapi dengan ebatan, pejati dan suci.

Demikian beberapa jenis nasi yang dapat disampaikan dan tidak tertutup kemungkinan terdapat beberapa jenis nasi lagi sesuai dengan desa kala patra yang ditemukan di Bali.

Daftar Pustaka

Hanna, Willard. 1991. Bali Profile: Peoples, Events, Circumstances (1001-1976). Banda Neira: Rumah Budaya Banda Neira.
Kong Yuanzhi. 2005. Silang Budaya Tiongkok Indonesia. Jakarta: BIP.
Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa Silang Budaya (Jilid II: Jaringan Asia). Jakarta: Gramedia.
McPhee, Collin. 1947. A House in Bali. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Owen, Sri. 1999. Indonesian Regional Food and Cookery. London: Frances Lincoln.
Reid, Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga (Jilid I: Tanah di Bawah Angin). Jakarta: Obor.
Stibbe, D.G. 1921. EnclopƦdie van Nederlandsch-IndiĆ« (jilid 4, subjek: voedingsmiddelen). ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Vuyk, Beb. 1987. Groot Indonesisch Kookboek. Utrecht: Uitgeverij Kosmos.
Website :
http://www.anakciremai.com/2008/05/makalah-antropologi-tentang-pola.html
http://maulanusantara.wordpress.com/2008/09/21/bahaya-daging-babi-bagi-kesehatan/
http://www.koperasisyariah.com/bahaya-daging-babi-bagi-manusia/
http://gayahidupcantiksehat.wordpress.com/2011/08/12/jenis-daging-dan-kandungan- 
nilai-gizi-serta-manfaatnya/



sumber : jurnal.isi-dps.ac.id




Tidak ada komentar:

Posting Komentar