BUDAYA
MAKAN MASYARAKAT BALI
Awal sejarah Bali tidak dapat dilepaskan
dari asal-usul dan evolusi masyarakatnya. Orang Bali diduga memiliki darah
campuran Mongoloid yang bergerak ke pulau utama menuju kawasan Asia Tenggara,
jauh sebelum masa sejarah. Pengaruh asing terbesar bagi orang Bali awalnya
dibawa oleh orang-orang India (pedagang dan pelancong) yang membawa serta
pengaruh ajaran Hindu. Bali kemudian berbagi sangat banyak dalam gelombang
Indianisasi yang menyebar di hampir banyak kawasan Asia Tenggara di paruh akhir
milenium pertama.
Hinduisasi di Bali merupakan sebuah proses
yang berlangsung berabad-abad. Pengaruh yang paling meresap ternyata bukan dari
India saja, namun ternyata lebih dekat ke Jawa, yang sebenarnya lebih dahulu
terkena proses Indianisasi dibandingkan Bali.
Lantas, apa hubungan masa Hindu Jawa yang
diwakili oleh kekuasaan Majapahit tersebut bagi budaya orang Bali, terutama
berkaitan dengan kebiasaan makan mereka yang menjadikan babi sebagai konsumsi
daging utama. Di sini saya tidak begitu sepakat dengan daging pilihan (meat of
choice), karena saya lebih memandang daging babi lebih dari sekedar pilihan,
namun menjadi suatu yang utama di kalangan masyarakat Bali.
A.
JENIS MAKANAN
YANG BIASA DIKONSUMSI
Dalam kitab Nagarakrtagama (1365), babi disinggung sebagai salah satu
jenis daging yang dihidangkan di Istana Majapahit, selain daging domba, kerbau,
ayam, lebah, ikan, dan bebek. Selain itu, juga ada beberapa jenis daging lagi
yang tidak dihidangkan kepada orang yang taat karena pantangan Hindu, meskipun
banyak digemari oleh rakyat biasa, seperti kodok, cacing, penyu, tikus, anjing.
Banyak sekali pada masa itu orang-orang yang menggemari daging-daging ini.
Agama Hindu tampaknya nyaris tidak berperan dalam mengekang sumber-sumber
protein.
Lantas, apa yang kemudian menjadikan babi
sebagai daging konsumsi utama di kalangan masyarakat Bali? Hal ini tampaknya
tidak dapat dilepaskan dari peran orang-orang Hindu Jawa yang bermigrasi ke
Bali pasca runtuhnya kekuasaan Majapahit. Pada abad ke-16, ketika masa
kekuasaan Raja Batu Renggong, orang-orang Bali mentransformasikan
pengaruh-pengaruh Majapahit untuk disesuaikan dengan kebutuhan hidup. Mereka
menciptakan apa yang dalam kenyataannya sebagai budaya kontemporer Bali serta
memberikan elemen-elemen khusus. Mereka juga membawa dan mempertahankan
kebiasaan-kebiasaan mereka, termasuk didalamnya persoalan kebiasaan makan Di
sisi lain, pengaruh agama dapat disimak dari pantangan untuk tidak memakan
daging sapi putih sebagai suatu pantangan seperti halnya yang dianut oleh
orang-orang Hindu-India. Tentu ini sebuah paradoks dengan orang-orang Islam
yang berpantangan untuk tidak mengkonsumsi daging yang haram, babi.
Pada kurun abad ke-19 hingga awal abad
ke-20, Babi adalah hewan ternak –selain lembu— yang menjadi kebutuhan utama
rumah tangga keluarga Bali. Hampir setiap kepala keluarga memiliki paling
sedikit satu sapi dan beberapa ekor babi yang diperuntukkan untuk kebutuhan
pribadi atau nantinya akan dijual ke pasar lokal dan juga ekspor.
Namun, ada hal yang lebih penting dari
sekedar hewan komoditas. Di Bali, babi juga adalah hewan yang digunakan dalam
kegiatan-kegiatan ritus. Seperti disinggung oleh ahli sejarah Asia Tenggara,
Anthony Reid, umumnya riwayat daging dalam kegiatan ritus di kawasan Asia
Tenggara sudah menjadi suatu hal yang penting, sebagaimana orang Bali memandang
daging babi dalam kegiatan ritusnya. Dijadikannya babi sebagai kegiatan ritus
di Bali.
Bukan hanya dalam kegiatan ritus, babi
sudah sejak lama menjadi semacam mitos yang melekat di lingkungan orang Bali.
B.TATA CARA MAKAN
Meskipun kini abad globalisasi, dimana
perjamuan telah berimbas pada masyarakat Bali seperti dikenalnya tata cara
makan prasmanan (berasal dari frans dinner), namun perjamuan tradisional tetap
dilaksanakan pada peristiwa-peristiwa istimewa seperti perkawinan, ngaben,
memukur, makarya di pamerajan ataupun pada hari piodalan. Apa saja bentuk dan
tata cara hidangan perjamuan dalam masyarakat adat di Bali? Sembari merayakan
Hari Galungan dan Kuningan, info berikut pantas dicermati bagi umat Hindu di manapun
berada.
HIDANGAN perjamuan pada masyarakat Bali
sangat beraneka ragam dari yang sederhana hingga yang dapat dikatakan sangat
istimewa. Yang istimewa atau yang utama disebut sebagai resi bojana. Yang lebih
sederhana dapat berupa nasi atau rayunan pajegan, megibung ataupun nasi
yasa.
1.
Megibung
Megibung adalah suatu proses atau kegiatan
yang dilakukan oleh masyarakat atau sebagian orang untuk duduk bersama saling berbagi satu sama lain, terutama dalam
hal makanan. Tidak hanya perut kenyang yang didapat dari kegiatan ini namun
sembari makan kita dapat bertukar pikiran bahkan bersendagurau satu sama lain.
Megibung bersasal dari kata dasar gibung
yang mendapat awalan me-. Gibung berarti kegiatan yang dilakukan oleh banyak
orang yaitu saling berbagi antara orang yang satu dengan yang lainnya,
sedangkan awalan me- berarti melakukan suatu kegiatan.
Tradisi Megibung merupakan kegiatan yang
dimiliki oleh masyarakat Karangasem yang daerahnya terletak di ujung timur
Pulau Dewata. Tanpa disadari Megibung menjadi suatu maskot atau ciri khas
Kabupaten Karangasem yang ibu kotanya Amlapura ini. Tradisi Megibung sudah ada
sejak jaman dahulu kala yang keberadaannya hingga saat ini masih kerap kali
kita dapat jumpai. Bahkan sudah menjadi sebuah tradisi bagi Masyarakat
Karangasem itu sendiri didalam melakukan suatu kegiatan baik dalam upacara
Keagamaan, Adat maupun kegiatan sehari-hari masyarakat apabila sedang
bercengkrama maupun berkumpul dengan sanak saudara.
Saat ini kegiatan megibung kerap kali dapat
dijumpai pada saat prosesi berlangsungnya Upacara Adat dan Keagamaan di suatu
tempat di Karangasem. Seperti misalnya dalam Upacara Dewa Yadnya, Pitra Yadnya,
Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya. Pada kegiatan ini biasanya yang
punya acara memberikan undangan kepada kerabat serta sanak saudaranya guna
menyaksikan prosesi kegiatan upacara keagamaan tersebut. Sehingga prosesi
upacara dapat berlangsung seperti yang diharapkan.
Proses penyembelihan babi pun dilakukan
sebagai salah satu menu di dalam mempersiapkan hidangan yang disebut Gibungan
ini. Daging babi diolah sedemikian rupa dan di kasi bumbu tertentu sehingga
daging yang mentah menjadi menu pelengkap yang menggugah selera seperti sate,
lawar, soup (komoh), Gegubah/lempyong, pepesan serta yang lainnya. Menu yang
dihidangkan dalam Megibung tidaklah harus daging babi, namun dading ayam,
kambing serta daging sapipun tidaklah masalah.
Megibung berlangsung apabila tamu undangan
sudah lama bersanda gurau dengan kerabat serta sanak saudara serta setelah
selesai membantu tugas-tugas yang dapat dilakukan guna kelangsungan acara
tersebut, sebelum para undangan pulang terlebih dahulu di ajaklah untuk makan
(megibung) sebagai tanda terimakasi atas kedatangan dan bantun dalam acara
tersebut. Dalam Megibung biasanya terdiri dari lima hingga tujuh orang, yang
dilakukan dengan duduk bersama membentuk lingkaran. Adapun ciri khas dari
megibung ini adalah :
a.
Duduk bersila membentuk lingkaran yang terdiri
dari 5-7 orang.
b.
Nasi yang disuguhkan ditaruh
dalam satu wadah (nare besar).
c.
Lauk atau pelengkap nasi berupa sate, lawar,
soup, Gegubah/lempyong, pepesan yang ditempatkan dalam satu wadah (nare kecil).
d.
Kegiatan makan dilakukan secara bersamaan dan
makan menggunakan tangan.
e.
Pada saat makan tidak boleh ada
yang terjatuh di wadah/tempat nasi namun harus di luar nare tempat nasi
tersebut.
Apabila ada salah seorang peserta megibung ada yang terlebih dahulu
kenyang, orang tersebut tidak boleh terlebih dahulu bangun atau meninggalkan
tempat megibung namun harus menunggu yang lain supaya selesai makan dan bangun secara
bersama-sama.
2. Resi Bojana
Selain nasi gagibungan, juga dikenal adanya
perjamuan dengan resi bojana, yakni perjamuan istimewa (merupakan tingkatan
yang utama) pada saat puncak acara yang disiapkan bagi para resi yang muput
karya ageng dan raja atau Cokorda pemimpin suatu wilayah. Upacara-upacara
tersebut misalnya berupa memukur atau nyekah dan nyusun di pamerajan.
Hidangannya disiapkan dengan dulang beralaskan jaro. Tiap orang disiapkan tujuh
buah dulang yang terdiri dari nasi tebog, nasi maklopok, ebat-ebatan,
gegerabadan, saserodan/ cacacalan, kue basah, sampai buah-buahan. Dalam
menghidangkan resi bojana, didahului dengan canang, tirta, dupa, base makojong
magonjer, perangkat makan ( piring, sendok, garpu, serbet, gelas dan air minum ,dan paso atau mangkuk
untuk cuci tangan). Hal ini dimaknakan bahwa sebelum makan beliau berdoa terlebih
dahulu.
Hidangan dalam bentuk resi bojana juga
dihaturkan ke hadapan Tuhan Yang Maha esa dalam manivestasi sebagai Bhatara Surya,
Bathari Saraswati, dan juga kepada para leluhur. Pada dulang ebat-ebatan
dihidangkan lawar, beberapa jenis sate dan lauk pauk, pada dulang gegerabadan
dihidangkan jukut meurapan, kacang warna lima (kapri, botor, mentik, komak,
buncis), saur, sudang, udang, gurita, lindung, telor rebus, telor dadar, satu
ekor betutu bebek dan sambal emba serta garam. Pada dulang kue basah disiapkan
lima macam kue basah yang masing-masing berisi lima potong kue.
3. Pajegan dan Yasa
Selain perjamuan tersebut juga dikenal perjamuan
dengan hidangan nasi pajegan. Pada perjamuan ini minimal disiapkan empat dulang
dialasi jaro. Pada dulang pertama disiapkan nasi putih yang di-klopok, pada
dulang kedua disiapkan ebat-ebatan, pada dulang ketiga disiapkan gegerabadan
dan dulang terakhir disiapkan buah-buahan. Sedangkan peralatan makan dan air
minum disiapkan tersendiri. Selain itu, juga disiapkan air untuk cuci tangan
yang ditempatkan pada satu paso atau mangkuk.
Pada nasi pajegan ageng disiapkan sebuah
dulang lagi untuk kue-kue basah. Jadi keseluruhannya berjumlah lima dulang.
Jumlah sate lilit yang disiapkan bervariasi tergantung dari keutamaan beliau
yang dihaturkan nasi pajegan ini. Biasanya berkisar 16 katik atau batang, 20
katik, dan 30 katik. Perjamuan nasi pajegan biasanya disiapkan bagi para resi
yang muput karya ageng dan raja atau Cokorda pemimpin suatu wilayah pada suatu
upacara yang tidak sebesar mamukur misalnya upacara perkawinan, piodalan dan
ngaben.
Selain perjamuan tersebut juga terdapat
perjamuan dengan hidangan nasi yasa. Nasi yasa mempunyai kekhususan yaitu
nasinya terbuat dari nasi kuning. Nasi yasa juga dibedakan atas nasi yasa yang
ageng dan yang biasa. Pada nasi yasa ageng, nasi kuning yang di-klopok dicetak
dikelilingi lauk-pauk dan sayur-mayur seperti betutu, udang, sudang, gurita,
lindung, telor dadar, telor rebus ataupun telor asin serta sayur urab,
utik-utik atau kecambah, kacang panjang, daun kecarum, kacang kapri, kacang
botor, kacang mentik dan saur serta sambal emba beserta garam yang
masing-masing dialasi dengan takir. Sedangkan nasi yasa biasa dengan ukuran
yang lebih kecil, dialasi dengan tamas dan lauk pauk, sayur-mayur diletakkan
langsung di atas nasi kuning yang dicetak dengan diameter lebih kurang 10 cm.
Nasi yasa biasanya dihidangkan dalam rangkaian acara dalam upacara di pemerajan
ataupun upacara memukur.
4. Ngejot
Sebagai bingkisan nasi atau rayunan yang
dikirimkan ke rumah-rumah yang sering disebut dengan ngejot, biasanya jumlah
satenya ditentukan dari kedudukan, kedekatan dan kekerabatannya. Nasi jotan
tersebut dibedakan atas nasi pamijian dan nasi pajegan. Nasi pamijian terdiri
atas pamijian ageng, pamijian biasa dan pamijian alit. Pamijian ageng berisi
nasi klopokan dan gegerabadan yang mengelilingi nasi di atas taledan yang tidak
di-sibeh, kemudian dilengkapi dengan ebat-ebatan pada taledan lain yang
di-sibeh serta sate sejumlah 8 atau 12 katik. Pada pamijian biasa jumlah
satenya 5 atau 6 katik. Pada pamijian alit, nasi klopokan tersebut dilengkapi
ebat-ebatan dengan sate sejumlah 3 katik. Ebat-ebatan serta sate tersebut
dialasi tapan dari daun pisang.
Jotan nasi pajegan terdiri dari nasi
klopokan yang dialasi tamas dan taledan (tidak mesibeh), serta pada taledan
(tidak mesibeh) yang lain disiapkan gegerabadan, serta pada taledan (tidak
mesibeh) yang satunya lagi disiapkan ebat-ebatan. Masing-masing ditempatkan
pada satu keben. Jadi tiap set memerlukan tiga keben. Untuk pajegan ageng
dibutuhkan satu keben lagi untuk tempat kue-kue basah yang dialasi dengan
taledan yang mesibeh.
Selain itu dikenal juga adanya nasi
pamirakan untuk membalas pamirakan yang diberikan oleh keluarga dekat kepada
yang mempunyai hajat atau karya. Nasi pamirakan ini berupa nasi klopokan yang
dilengkapi dengan 3 katik sate lilit. Dalam rangkaian upacara perkawinan,
sering disebutkan adanya nasi pameeg. Nasi pameeg ini berupa nasi punjungan
yang dialasi tamas dan dilengkapi dengan ebatan, pejati dan suci.
Demikian beberapa jenis nasi yang dapat
disampaikan dan tidak tertutup kemungkinan terdapat beberapa jenis nasi lagi
sesuai dengan desa kala patra yang ditemukan di Bali.
Daftar Pustaka
Hanna, Willard. 1991. Bali Profile:
Peoples, Events, Circumstances (1001-1976). Banda Neira: Rumah Budaya Banda
Neira.
Kong Yuanzhi. 2005. Silang Budaya Tiongkok
Indonesia. Jakarta: BIP.
Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa Silang
Budaya (Jilid II: Jaringan Asia). Jakarta: Gramedia.
McPhee, Collin. 1947. A House in Bali.
Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Owen, Sri. 1999. Indonesian Regional Food
and Cookery. London: Frances Lincoln.
Reid, Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam
Kurun Niaga (Jilid I: Tanah di Bawah Angin). Jakarta: Obor.
Stibbe, D.G. 1921. EnclopƦdie van
Nederlandsch-IndiĆ« (jilid 4, subjek: voedingsmiddelen). ‘S-Gravenhage: Martinus
Nijhoff.
Vuyk, Beb. 1987. Groot Indonesisch Kookboek.
Utrecht: Uitgeverij Kosmos.
Website :
http://www.anakciremai.com/2008/05/makalah-antropologi-tentang-pola.html
http://maulanusantara.wordpress.com/2008/09/21/bahaya-daging-babi-bagi-kesehatan/
http://www.koperasisyariah.com/bahaya-daging-babi-bagi-manusia/
http://gayahidupcantiksehat.wordpress.com/2011/08/12/jenis-daging-dan-kandungan-
nilai-gizi-serta-manfaatnya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar